Sabtu, 14 Juli 2012

Ora Beach, surga pecinta snorkeling

Ora Beach ! Terdengar seperti bukan di Indonesia. Tapi ini asli Indonesia, di Maluku, Utara Pulau Seram. Ada surga tersembunyi bagi penyuka kegiatan snorkeling atau berenang di antara terumbu karang.

Atau malah untuk yang ingin lari dari keramaian, menyepi, honey moon.....
Tempatnya memang jauh dari keramaian,tidak ada tv, no wi-fi juga tapi (syukurlah) sudah ada sinyal hp (yang ada telkomsel dan excel)

Hamparan taman terumbu karang yang berwarna warni, air laut yang sangat bening, biru berkilauan tertimpa cahaya matahari, ikan-ikan bermain di sela-sela koral dan karang. Satu hal yang jarang ditemui ditempat lain : laut yang tenang, tanpa ombak, nyaris tanpa gelombang. Di sela-sela pohon bakau / mangrove, keluar mata air tawar yang berbaur dengan air laut. Ada air tawar di laut. It's amazing !




Air laut yang tenang dan jernih, terhampar menuju Ora Beach Resort
Ora Beach atau Pantai Ora terletak di Desa atau Negri (sebutan desa bagi orang Maluku) Saleman, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Pantai ini akan terlihat di sebelah kanan, bila kita dalam perjalanan menuju Negri Sawai. Lihat di Sawai, ikon keindahan Maluku

Hutan yang masih alami terlihat dibalik Ora Beach Resort
Untuk sampai ke sini, dari Pulau Ambon Maluku, melalui pelabuhan Amahai kita harus menyeberang ke Pelabuhan Tulehu di Pulau Seram (bagian Utara). Pantai Ora ini ada di tepi Pulau Seram Bagian Selatan.
Tersedia kapal cepat 'Cantika Anugrah', dengan jarak tempuh kurang lebih 2 jam antara dua pulau tersebut. Harga tiketnya adalah Rp. 100ribu untuk kelas ekonomi dan Rp. 150ribu untuk kelas VIP.


Perahu tertambat di samping dermaga Pantai Ora
Sesampainya di Pulau Seram, kita dapat mencari mobil sewaan / rentalan untuk menuju desa Saka Negeri Saleman di bibir pantai Seram Selatan, yaitu desa tempat berlabuh menuju Pantai Ora. Perjalanan dari Tulehu (di Utara) menuju Saka (di Selatan) ini jaraknya kurang lebih 85 km. Kita akan melewati Masohi (ibukota Kabupaten Maluku Tengah), dan juga hutan hujan Taman Nasional Manusela...

Sawai, ikon keindahan Maluku

Pernah dengar kata SAWAI? Saya juga belum, sampai saya menginjakkan kaki di sana...
Sawai ternyata nama suatu Negri atau desa di Maluku, tepatnya di Kecamatan Seram Utara, Pulau Seram.

Negri Sawai, jarang terdengar bila bicara tentang tempat-tempat wisata di Maluku. Apalagi tempat wisata di Indonesia. Bali? Semua orang sudah tahu. Gili Trawangan? Sudah sering terdengar. Tapi Sawai?...hanya sedikit orang tahu dan pernah berkunjung, padahal eksotisme dan keindahannya tidak kalah dengan tempat2 yang sudah sangat terkenal itu. Pantai yang luas dan tenang, dilindungi oleh teluk dan gugusan pulau-pulau karang yang menghalangi teluk dari hembusan angin laut. Air yang biru dan jernih, serta taman-taman laut serta ikannya yang berwarna-warni. 

Rumah-rumah terapung ciri khas pemukiman di Sawai

Negri Sawai terletak di Seram Utara, Pulau Seram yang merupakan pulau terbesar di Provinsi Maluku. Transportasi yang jarang, mengakibatkan lokasi ini cukup sulit dijangkau dari ibukota Maluku, Kota Ambon. Pada kesempatan berkunjung ke sana, pertama-tama kami harus menuju ke Kota Ambon, di Pulau Ambon yang dapat ditempuh dengan pesawat udara dari Jakarta (lama penerbangan + 4 jam dengan 1 kali transit), kemudian menyeberang ke Pulau Seram dengan kapal cepat yang memakan waktu 1,5 jam (dari Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon, menuju Pelabuhan Amahai di Seram Selatan), tarif kapal cepat ini Rp 100ribu reguler / Rp 150ribu yang VIP.


Pelabuhan Amahai di Seram Selatan, di latar belakang adalah Kapal  Cepat  Cantika Express, yang mengantar dari Pelabuhan Tulehu, Ambon


Perjalanan dilanjutkan melalui darat dengan mobil sewaan dari Kota Masohi, kami diantarkan ke Desa Saka di Seram Utara dengan lama perjalanan 3 jam (harga rental mobil jenis MPV Rp. 650ribu sekali jalan), melalui jalan-jalan di pegunungan yang berbelok-belok.

Selasa, 10 Juli 2012

Ambon Manise

"Mau ikut ke Ambon?" Suamiku menawarkan apakah aku tertarik untuk ikut, karena kebetulan dia akan pergi ke Ambon untuk urusan pekerjaan.


Ambon...? Wow...terbayang gugusan pulau-pulau eksotik di tengah-tengah perairan luas yang membentang antara Sulawesi dan Papua
Ya, aku mau ikut. Aku langsung browsing, searching....di internet ada apa di Ambon, ada apa di Maluku


Ambon, bisa berarti nama kota ibukota Provinsi Maluku, tapi Ambon juga bisa berarti nama pulau, tempat Kota Ambon berada. Sejauh yang aku temukan situs ini lumayan informatif mengenai obyek wisata di Ambon :

Ambon memang manise...kota berbukit yang langsung berhadapan dengan teluk ambon, memiliki pemandangan cantik di beberapa sudut kotanya. Sisa-sisa kerusuhan berunsur sara yang terjadi pada tahun 2000-an, sudah tidak ada bekasnya. Keinginan untuk rekonsiliasi terlihat jelas dengan terselenggaranya MTQ di bulan Juni lalu dengan sukses. Ambon saat ini sangat damai dan kondusif. Geliat perekonomian dan pulihnya wisata terlihat di berbagai penjuru kota.

Sayangnya karena keterbatasan waktu, tidak semua tempat bisa dikunjungi dan karena hujan yang turun terus menerus menghalangi kami untuk menjelajahi tempat-tempat  wisata tersebut dengan leluasa.

Namun beberapa spot menarik yang sempat kami datangi adalah :


  • Pantai Liang, di Pulau Ambon
Pantai Liang
  • Pantai Natsepa, di Pulau Ambon
Pantai Natsepa
Liputan lebih lengkap dapat dilihat di Menghabiskan Senja di Natsepa
Rujak Buah-buahan yang banyak terdapat di Pantai Natsepa

Sabtu, 07 Juli 2012

Canopi Safari di Taman Nasional Manusela, Seram

Bagaikan naik lift ke lantai 15, dan melihat pemandangan menakjubkan; hutan hujan tropis menghampar di depan mata!

Itulah yang saya bayangkan ketika mencoba Safari Kanopi (atap) hutan Taman Nasional Manusela Pulau Seram Maluku. Berada di ketinggian 45 meter di atas pohon, dan menikmati kerimbunan hutan dengan habitat hutan hujannya, it's amazing....

Canopy Safaris adalah salah satu pengalaman yang tidak boleh dilewatkan ketika mengunjungi Pulau Seram Maluku. Berada di kerimbunan hutan TN Manusela, start point dapat dilakukan dari penginapan yang dikelola pak Ali: Wisma Lisar Bahari di Desa Sawai Negeri Saleman. Dari sini kita memulai perjalanan dengan naik ojek (sepeda motor) menelusuri jalan desa yang sudah tidak beraspal lagi selama 30 menit, berhenti di tepi hutan di Dusun Masihulan, dilanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit. Berjalan di sela kerimbunan pohon, melewati jalan setapak yang semakin jauh ke dalam hutan semakin gelap. Hutan primer mulai nampak, ditandai dengan banyaknya pohon-pohon berukuran besar dengan diameter lebih dari 1 meter
Pohon besar yang akan dinaiki, tampak di atas; platform yang menjadi tujuan
Sejauh 45 meter dari tanah diantara cabang-cabang pohon yang lebar terdapat platform yang cukup luas, kira2 3×5 m2. Katanya platform atau rumah pohon  ini (lebih mirip teras karena tidak beratap) dibuat dengan biaya Rp20 juta. Wuihhh...mahal ya? Apa itu yang membuat harga paket safari ini jadi mahal untuk kebanyakan orang. Dengan harga mulai 1,2 juta paket akan lebih murah bila jumlah / orang/wisatawan bertambah, paling murah Rp 800rb/orang. Mungkin itu sebabnya sebagian besar hanya  wisatawan mancanegara/asing yang bisa mencoba safari ini.


Platform atau dek kayu di atas kanopi pohon hutan hujan Taman Nasional Manusela

Melihat banyaknya peralatan , tim pendukung berjumlah 13 orang yang merupakan penduduk lokal, dan semua persiapan yang dilakukan; tidak heran jika biaya operasionalnya menjadi mahal. 


Persiapan yang dilakukan untuk Canopy Safari

Hari sudah menjelang sore ketika kami tiba di kaki pohon Trembesi untuk melakukan Canopy Safari. Seluruh tim sibuk dengan tugasnya masing-masing melakukan persiapan untuk mengerek kami ke atas, 2-3 orang mempersiapkan tali-temali untuk Single Rope Techniques (SRT), 4-5 orang menaikkan tali ke atas pohon dan beberapa orang lainnya melalukan persiapan lain untuk memastikan segalanya berjalan lancar. Semua orang harus bekerja cepat karena mendung sudah menggelayut di langit, tanda sebentar lagi hujan lebat akan turun.


Dibutuhkan banyak orang untuk menarik kami sampai di atas pohon
Foto oleh S. Damar Jaya
Sebenarnya saya sedikit khawatir untuk melakukan pemanjatan ini. Pertama, pohonnya tinggiii...sekali; 45 meter, ini pohon tertinggi yang pernah saya naiki. Kedua saya bawa anak bungsu saya yang pada saat itu masih bayi 21 bulan; muncul kebingungan...apakah dia akan ditinggal di bawah sementara saya naik selama 2-3 jam. Saya takut dia nangis, atau rewel soalnya gak ada orang yang dia kenal di bawah. Tapi membawa bayi naik dengan tali? Wuihhh...resikonya itu, ngeri membayangkannya. Ketiga, walaupun saya sering keluar masuk hutan primer, tapi hutan ini sangat jauh letaknya dari Bandung; tempat tinggal saya. Kalau ada apa-apa gimana?

Akhirnya, bismillah...satu per satu, kami dikerek naik perlahan-lahan sampai ke kanopi (atap) pohon. Termasuk juga si bayi. Keyakinan bahwa semua akan baik2 saja melihat peralatan yang memenuhi standar, kerja tim yang cekatan dan ayahnya sendiri yang akan menggendongnya...membuat kekhawatiran saya perlahan-lahan memudar. Si bayi sendiri -Ima the explorer- terlihat menikmati petualangannya. 
Sama sekali gak terlihat ketakutan atau rewel di wajahnya. Dia senyum-senyum saja, padahal dia adalah anak terkecil yang pernah ikut Canopy Safari ini (sebelumnya yang paling kecil umur 5 tahun). 
Ima digendong ayahnya, naik ke puncak pohon.
Foto oleh : S. Damar Jaya
Setelah berdebar-debar naik ke puncak, akhirnya sampai juga ke  kanopi pohon
Foto oleh: S. Damar Jaya

Perjalanan yang panjang, dan semua hal yang telah dilalui, terbayar sudah pada saat menginjakkan kaki di platform atau dek kayu di atap pohon setinggi 45 meter ini. Semuanya hijau...sampai batas cakrawala dengan kabut tipis yang menyelimuti pegunungan Binaia di kejauhan, sejuk menyegarkan mata. 

Rasanya betah dan ingin berlama-lama di atas sini...sayangnya waktu tidak bisa kompromi. Karena kami tidak mengambil paket bermalam (terbayang kan kalau harus bermalam bersama bayi di puncak pohon?), maka tim pendukung mengingatkan kami untuk turun sebelum malam menjelang. 


Kerimbunan hutan dari kejauhan
Foto oleh S.Damar Jaya

Tajuk pohon di hutan hujan ini merupakan habitat bagi burung mata merah, betet kelapa, kakak tua, bahkan rangkong yang terkenal itu. Taman Nasional Manusela sendiri merupakan habitat bagi 117 jenis burung yang ada di Indonesia, 14 jenis diantaranya merupakan endemik (khas) kawasan ini yaitu burung Kesturi Ternate, Nuri Kepala Hitam, Kakaktua Seram, Raja Udang, Burung Madu Seram Besar dan Nuri Raja (sumber: www.dephut.go.id)


Burung-burung bisa diamati dari jarak sangat dekat
Foto oleh : S. Damar Jaya

Hujan deras tiba-tiba datang pada saat kami masih berada di dek atap pohon. Segera kru pendukung, memasang atap terpal untuk melindungi kami dari hujan. Untungnya minuman dan makanan kecil, sudah kami siapkan. Sambil menunggu hujan, kami ngemil dan menikmati bunyi-bunyian alam dari binatang-binatang hutan... komposer hebat ini tersembunyi, berlindung di balik lebatnya hutan Taman Nasional Manusela.

Untungnya hujan tidak lama kemudian berhenti. Disaat-saat terakhir diatas pohon, kami berkhayal;
andaikan dekat...
andaikan semua hutan di Indonesia seperti ini,...
andaikan semua tempat; damai...seperti di hutan ini...




Tersedia beberapa paket safari yang dapat kita pilih, info lebih lengkapnya : 

Klik link untuk safari di Kanopi hutan, atau safari tree tops: canopy safari
Atau hubungi pak Ali di 082 1111 811 37 (pengelola Penginapan Wisma Lisar Bahari, Sawai, Seram Utara)

Ditulis pada 12-04-13

LATEST POSTS